Macapat adalah tembang atau puisi tradisional Jawa. Setiap bait
macapat mempunyai baris kalimat yang disebut gatra, dan setiap gatra
mempunyai sejumlah suku kata (guru wilangan) tertentu, dan berakhir pada
bunyi sajak akhir yang disebut guru lagu. macapat dengan nama lain juga bisa ditemukan dalam kebudayaan Bali, Sasak, Madura, dan Sunda. Selain itu macapat
juga pernah ditemukan di Palembang dan Banjarmasin. Biasanya macapat diartikan
sebagai maca papat-papat (membaca empat-empat), yaitu maksudnya cara
membaca terjalin tiap empat suku kata. Namun ini bukan satu-satunya arti,
penafsiran lainnya ada pula. Macapat diperkirakan muncul pada akhir Majapahit dan dimulainya pengaruh Walisanga, namun hal ini hanya bisa
dikatakan untuk situasi di Jawa Tengah.
Sebab, di Jawa Timur dan Bali
macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam.
Karya-karya kesusastraan klasik Jawa
dari masa Mataram Baru,
pada umumnya ditulis menggunakan metrum macapat. Sebuah tulisan dalam bentuk
prosa atau gancaran pada umumnya tidak dianggap sebagai hasil karya
sastra namun hanya semacam 'daftar isi' saja. Beberapa contoh karya sastra Jawa
yang ditulis dalam tembang macapat termasuk Serat Wedhatama, Serat
Wulangreh, dan Serat Kalatidha.
Puisi tradisional Jawa atau tembang
biasanya dibagi menjadi tiga kategori: tembang cilik, tembang
tengahan dan tembang gedhé. Macapat digolongkan kepada kepada
kategori tembang cilik dan juga tembang tengahan, sementara tembang
gedhé berdasarkan kakawin atau puisi
tradisional Jawa Kuna, namun dalam penggunaannya pada masa Mataram Baru, tidak
diterapkan perbedaan antara suku kata panjang ataupun pendek. Di sisi lain tembang
tengahan juga bisa merujuk kepada kidung, puisi tradisional dalam bahasa Jawa
Pertengahan.
Kalau dibandingkan dengan kakawin, aturan-aturan dalam macapat
berbeda dan lebih mudah diterapkan menggunakan bahasa Jawa karena berbeda
dengan kakawin yang didasarkan pada bahasa Sanskerta, dalam macapat perbedaan
antara suku kata panjang dan pendek diabaikan.
Pada umumnya macapat diartikan
sebagai maca papat-papat (membaca empat-empat), yaitu maksudnya cara
membaca terjalin tiap empat suku kata. Namun ini bukan satu-satunya arti,
penafsiran lainnya ada pula. Seorang pakar Sastra Jawa, Arps menguraikan beberapa arti-arti lainnya
di dalam bukunya Tembang in two traditions.
Selain yang telah disebut di atas
ini, arti lainnya ialah bahwa -pat merujuk kepada jumlah tanda diakritis
(sandhangan) dalam aksara Jawa yang
relevan dalam penembangan macapat.
Kemudian menurut Serat
Mardawalagu, yang dikarang oleh Ranggawarsita, macapat merupakan singkatan
dari frasa maca-pat-lagu yang artinya ialah "melagukan nada
keempat". Selain maca-pat-lagu, masih ada lagi maca-sa-lagu,
maca-ro-lagu dan maca-tri-lagu. Konon maca-sa termasuk
kategori tertua dan diciptakan oleh para Dewa dan diturunkan kepada pandita
Walmiki dan diperbanyak oleh sang pujangga istana Yogiswara dari Kediri.
Ternyata ini termasuk kategori yang sekarang disebut dengan nama tembang gedhé. Maca-ro termasuk
tipe tembang gedhé di mana jumlah bait per pupuh bisa kurang dari empat
sementara jumlah sukukata dalam setiap bait tidak selalu sama dan diciptakan
oleh Yogiswara. Maca-tri atau kategori yang ketiga adalah tembang
tengahan yang konon diciptakan oleh Resi Wiratmaka, pandita istana Janggala
dan disempurnakan oleh Pangeran Panji Inokartapati dan saudaranya. Dan
akhirnya, macapat atau tembang cilik diciptakan oleh Sunan Bonang
dan diturunkan kepada semua wali.
Sejarah
macapat
Secara umum diperkirakan bahwa
macapat muncul pada akhir masa Majapahit dan
dimulainya pengaruh Walisanga, namun hal
ini hanya bisa dikatakan untuk situasi di Jawa Tengah. Sebab di Jawa Timur dan Bali
macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam. Sebagai contoh ada sebuah teks
dari Bali atau Jawa Timur yang dikenal dengan judul Kidung Ranggalawé
dikatakan telah selesai ditulis pada tahun 1334 Masehi. Namun di sisi lain,
tarikh ini disangsikan karena karya ini hanya dikenal versinya yang lebih
mutakhir dan semua naskah yang memuat teks ini berasal dari Bali.
Sementara itu mengenai usia macapat,
terutama hubungannya dengan kakawin, mana yang
lebih tua, terdapat dua pendapat yang berbeda. Prijohoetomo berpendapat bahwa
macapat merupakan turunan kakawin dengan tembang gedhé sebagai perantara.
Pendapat ini disangkal oleh Poerbatjaraka dan Zoetmulder. Menurut kedua pakar
ini macapat sebagai metrum puisi asli Jawa lebih tua usianya daripada kakawin.
Maka macapat baru muncul setelah pengaruh India semakin pudar.
Struktur
macapat
Sebuah karya sastra macapat biasanya
dibagi menjadi beberapa pupuh, sementara setiap pupuh dibagi
menjadi beberapa pada. Setiap pupuh menggunakan metrum yang sama.
Metrum ini biasanya tergantung kepada watak isi teks yang diceritakan.
Jumlah pada per pupuh
berbeda-beda, tergantung terhadap jumlah teks yang digunakan. Sementara setiap
pada dibagi lagi menjadi larik atau gatra. Sementara setiap larik
atau gatra ini dibagi lagi menjadi suku kata atau wanda. Setiap gatra
jadi memiliki jumlah suku kata yang tetap dan berakhir dengan sebuah vokal yang
sama pula.
Aturan mengenai penggunaan jumlah
suku kata ini diberi nama guru wilangan. Sementara aturan pemakaian
vokal akhir setiap larik atau gatra diberi nama guru lagu.
Jenis
metrum macapat
Jumlah metrum baku macapat ada
limabelas buah. Lalu metrum-metrum ini dibagi menjadi tiga jenis, yaitu tembang
cilik, tembang tengahan dan tembang gedhé. Kategori tembang
cilik memuat sembilan metrum, tembang tengahan enam metrum dan tembang
gedhé satu metrum.
Ada beberapa jenis tembang macapat.
masing-masing jenis tembang tersebut memiliki aturan berupa guru lagu dan guru
wilangan masing-masing yang berbeda-beda. Yang paling dikenal umum ada 11 jenis
tembang macapat. Yaitu, Pucung, Megatruh, Pangkur, Dangdanggula, dll. Lebih
lengkap nya sebagai berikut,
- Pangkur berasal dari nama punggawa dalam kalangan kependetaan seperti tercantum dalam piagam-piagam berbahasa jawa kuno. Dalam Serat Purwaukara, Pangkur diberiarti buntut atau ekor. Oleh karena itu Pangkur kadang-kadang diberi sasmita atau isyarat tut pungkur berarti mengekor dan tut wuntat berarti mengikuti.
- Maskumambang berasal dari kata mas dan kumambang. Mas dari kata Premas yaitu punggawa dalam upacara Shaministis. Kumambang dari kata Kambang dengan sisipan – um. Kambang dari kata Ka- dan Ambang. Kambangselain berarti terapung, juga berarti Kamwang atau kembang. Ambang ada kaitannya dengan Ambangse yang berarti menembang atau mengidung. Dengan demikian, Maskumambang dapat diberi arti punggawa yang melaksanakan upacara Shamanistis, mengucap mantra atau lafal dengan menembang disertai sajian bunga. Dalam Serat Purwaukara, Maskumambang diberi arti Ulam Toya yang berari ikan air tawar, sehingga kadang-kadang di isyaratkan dengan lukisan atau ikan berenang.
- Sinom ada hubungannya dengan kata Sinoman, yaitu perkumpulan para pemuda untuk membantu orang punya hajat. Pendapat lain menyatakan bahwa Sinom ada kaitannya dengan upacara-upacara bagi anak-anak muada zaman dahulu. Dalam Serat Purwaukara, Sinom diberi arti seskaring rambut yang berarti anak rambut. Selain itu, Sinom juga diartikan daun muda sehingga kadang-kadang diberi isyarat dengan lukisan daun muda.
- Asmaradana berasal dari kata Asmara dan Dhana. Asmara adalah nama dewa percintaan. Dhana berasal dari kata Dahana yang berarti api. Nama Asmaradana berkaitan denga peristiwa hangusnya dewa Asmara oleh sorot mata ketiga dewa Siwa seperti disebutkan dalam kakawin Smaradhana karya Mpu Darmaja. Dalam Serat Purwaukara, Smarandana diberi arti remen ing paweweh, berarti suka memberi.
- Dhangdhanggula diambil dari nama kata raja Kediri, Prabu Dhandhanggendis yang terkenal sesudah prabu Jayabaya. Dalam Serat Purwaukara, Dhandhanggula diberi arti ngajeng-ajeng kasaean, bermakna menanti-nanti kebaikan.
- Durma dari kata jawa klasik yang berarti harimau. Sesuai dengan arti itu, tembangDurma berwatak atau biasa diguanakan dalam suasana seram.
- Mijil berarti keluar. Selain itu , Mijil ada hubungannya dengan Wijil yang bersinonim dengan lawang atau pintu. Kata Lawang juga berarti nama sejenis tumbuh-tumbuhan yang bunganya berbau wangi. Bunga tumbuh-tumbuhan itu dalam bahasa latin disebut heritiera littoralis.
- Kinanthi berarti bergandengan, teman, nama zat atau benda , nam bunga. Sesuai arti itu, tembang Kinanthi berwatak atau biasa digunakan dalam suasana mesra dan senang.
- Gambuh berarti ronggeng, tahu, terbiasa, nama tetumbuhan. Berkenaan dengan hal itu, tembang Gambuh berwatak atau biasa diguanakan dalam suasana tidak ragu-ragu.
- Pucung adalah nama biji kepayang, yang dalam bahasa latin disebut Pengium edule. Dalam Serat Purwaukara, Pucung berarti kudhuping gegodhongan ( kuncup dedaunan ) yang biasanya tampak segar. Ucapan cung dalam Pucung cenderung mengacu pada hal-hal yang bersifat lucu, yang menimbulkan kesegaran, misalnya kucung dan kacung. Sehingga tembang Pucung berwatak atau biasa digunakan dalam suasana santai.
- Megatruh berasal dari awalan am, pega dan ruh. Pegat berarti putus, tamat, pisah, cerai. Dan ruh berarti roh. Dalam Serat Purwaukara, Megatruh diberi arti mbucal kan sarwa ala ( membuang yang serba jelek ). Pegat ada hubungannya dengan peget yang berarti istana, tempat tinggal. Pameget atau pamegat yang berarti jabatan. Samgat atau samget berarti jabatan ahli, guru agama. Dengan demikian, Megatruh berarti petugs yang ahli dalam kerohanian yang selalu menghindari perbuatan jahat.
Ada pula yang memasukkan tembang
gede dan tembang tengahan ke dalam macapat. Tembang-tembang tersebut antara
lain
- Wirangrong berarti trenyuh ( sedih ), nelangsa ( penuh derita ), kapirangu ( ragu-ragu ),. Namun dalam teks sastra, Wirangrong digunakan dalam suasana berwibawa.
- Jurudemung berasal dari kata juru yang berarti tukang, penabuh, dan demung yang berarti nama sebuah perlengkapan gamelan. Dengan demikian, Jurudemung dapat berarti penabuh gamelan. Dalam Serat Purwaukara, Jurudemung diberi arti lelinggir kang landep atau sanding (pisau) yang tajam.
- Girisa berarti arik (tenang), wedi (takut), giris (ngeri). Girisa yang berasal dari bahasa Sansekerta, Girica adalah nama dewa Siwa yang bertahta di gunung atau dewa gunung, sehingga disebut Hyang Girinata. Dalam Serat Purwaukara, Girisa diberi arti boten sarwa wegah, bermakna tidak serba enggan, sehingga mempunyai watak selalu ingat.
- Balabak, dalam Serat Purwaukara diberi arti kasilap atau terbenam. Apabila dihubungkan dengan kata bala dan baka, Balabak dapat berarti pasukan atau kelompok burung Bangau. Apabila terbang, pasukan burung Bangau tampak santai. Oleh karena itu tembang Balabak berwatak atau biasa digunakan dalam suasana santai.
Tabel
macapat
Supaya lebih mudah membedakan antara
guru gatra, guru wilangan lan guru lagu dari
tembang-tembang tadi, maka setiap metrum ditata di dalam sebuah tabel seperti
di bawah ini[17]:
Metrum
|
Gatra
|
I
|
II
|
III
|
IV
|
V
|
VI
|
VII
|
VIII
|
IX
|
X
|
Tembang cilik / Sekar alit
|
|||||||||||
Dhandhanggula
|
10
|
10i
|
10a
|
8é
|
7u
|
9i
|
7a
|
6u
|
8a
|
12i
|
7a
|
Maskumambang
|
4
|
12i
|
6a
|
8i
|
8a
|
||||||
Sinom
|
9
|
8a
|
8i
|
8a
|
8i
|
7i
|
8u
|
7a
|
8i
|
12a
|
|
Kinanthi
|
6
|
8u
|
8i
|
8a
|
8i
|
8a
|
8i
|
||||
Asmarandana
|
7
|
8i
|
8i
|
8é
|
8a
|
7a
|
8u
|
8a
|
|||
Durma
|
7
|
12a
|
7i
|
6a
|
7a
|
8i
|
5a
|
7i
|
|||
Pangkur
|
7
|
8a
|
11i
|
8u
|
7a
|
12u
|
8a
|
8i
|
|||
Mijil
|
6
|
10i
|
6o
|
10é
|
10i
|
6i
|
6u
|
||||
Pocung
|
4
|
12u
|
6a
|
8i
|
12a
|
||||||
Tembang tengahan / Sekar madya
|
|||||||||||
Jurudhemung
|
7
|
8a
|
8u
|
8u
|
8a
|
8u
|
8a
|
8u
|
|||
Wirangrong
|
6
|
8i
|
8o
|
10u
|
6i
|
7a
|
8a
|
||||
Balabak
|
6
|
12a
|
3é
|
12a
|
3é
|
12u
|
3é
|
||||
Gambuh
|
5
|
7u
|
10u
|
12i
|
8u
|
8o
|
|||||
Megatruh
|
5
|
12u
|
8i
|
8u
|
8i
|
8o
|
|||||
Tembang gedhé / Sekar ageng
|
|||||||||||
Girisa
|
8
|
8a
|
8a
|
8a
|
8a
|
8a
|
8a
|
8a
|
8a
|
Contoh
penggunaan metrum macapat
Di bawah ini disajikan contoh-contoh
penggunaan setiap metrum macapat dalam bahasa Jawa beserta terjemahannya dalam
bahasa Indonesia. Dijelaskan pula tokoh penciptanya menurut legenda dan watak
setiap metrum
Dhandhanggula
Dhandhanggula adalah sebuah metrum
yang memiliki watak luwes. Metrum ini diatribusikan kepada Sunan Kalijaga.
Contoh (Serat Jayalengkara):
Bahasa
Jawa
|
Bahasa
Indonesia
|
Prajêng
Medhang Kamulan winarni,
|
Diceritakan
mengenai kerajaan Medhang Kamulan,
|
narèndrâdi
Sri Jayalengkara,
|
ketika
sang raja agung Sri Jayalengkara
|
kang
jumeneng nerpatiné,
|
yang
bertahta sebagai raja
|
ambek
santa budi alus,
|
memiliki
pikiran tenang dan berbudi halus
|
nata
dibya putus ing niti,
|
raja
utama pandai dalam ilmu politik
|
asih
ing wadya tantra,
|
mengasihi
para bala tentara
|
paramartêng
wadu,
|
sayang
terhadap para wanita
|
widagdêng
mring kasudiran,
|
teguh
terhadap jiwa kepahlawanan
|
sida
sedya putus ing agal lan alit,
|
berhasil
dalam berkarya secara lahiriah maupun batiniah
|
tan
kènger ing aksara.
|
tidak
terpengaruh sihir.
|
Maskumambang
Gereng-gereng Gathotkaca sru anangis
Sambaté mlas arsa
Luhnya marawayan mili
Gung tinamêng astanira
Sambaté mlas arsa
Luhnya marawayan mili
Gung tinamêng astanira
Sinom
Pangéran Panggung saksana
Anyangking daluwang mangsi
Dènira manjing dahana
Alungguh sajroning geni
Èca sarwi nenulis
Ing jero pawaka murub
Anyangking daluwang mangsi
Dènira manjing dahana
Alungguh sajroning geni
Èca sarwi nenulis
Ing jero pawaka murub
Asmaradana
Aja turu soré kaki
Ana Déwa nganglang jagad
Nyangking bokor kencanané
Isine donga tetulak
Sandhang kelawan pangan
Yaiku bagéyanipun
Wong melek sabar narima
Ana Déwa nganglang jagad
Nyangking bokor kencanané
Isine donga tetulak
Sandhang kelawan pangan
Yaiku bagéyanipun
Wong melek sabar narima
Kinanthi
Metrum Kinanthi ini memiliki watak gandrung
dan piwulang. Metrum ini konon diciptakan oleh Sultan Adi
Erucakra.
Contoh (Serat Rama gubahan Yasadipura):
Anoman malumpat sampun,
Praptêng witing nagasari,
Mulat mangandhap katingal,
Wanodyâyu kuru aking,
Gelung rusak awor kisma,
Ingkang iga-iga kêksi.
Praptêng witing nagasari,
Mulat mangandhap katingal,
Wanodyâyu kuru aking,
Gelung rusak awor kisma,
Ingkang iga-iga kêksi.
Gambuh
Sekar gambuh ping catur,
Kang cinatur polah kang kalantur,
Tanpa tutur katula tula katali,
Kadaluwarsa katutuh,
Kapatuh pan dadi awon.
Kang cinatur polah kang kalantur,
Tanpa tutur katula tula katali,
Kadaluwarsa katutuh,
Kapatuh pan dadi awon.
Pangkur
Lumuh tukua pawarta,
Tan saranta nuruti hardengati,
Satata tansah tinemu,
Kataman martotama,
Kadarmaning narendra sudibya sadu,
Wus mangkana kalih samya,
Sareng manguswa pada ji.
Tan saranta nuruti hardengati,
Satata tansah tinemu,
Kataman martotama,
Kadarmaning narendra sudibya sadu,
Wus mangkana kalih samya,
Sareng manguswa pada ji.
(Haji Pamasa, Ranggawarsita)
Mingkar mingkuring angkara,
Akarana karenan mardi siwi,
Mangka nadyan tuwa pikun,
Yen tan mekani rasa,
Yekti sepi sepa lir asepa samun,
Samangsane pakumpulan,
Gonyak ganyuk nglelingsemi.
Akarana karenan mardi siwi,
Mangka nadyan tuwa pikun,
Yen tan mekani rasa,
Yekti sepi sepa lir asepa samun,
Samangsane pakumpulan,
Gonyak ganyuk nglelingsemi.
Durma
Damarwulan aja ngucireng ngayuda
Baliya sun anteni
Mangsa sun mundura
Lah Bisma den prayitna
Katiban pusaka mami
Mara tibakna
Curiganira nuli
Baliya sun anteni
Mangsa sun mundura
Lah Bisma den prayitna
Katiban pusaka mami
Mara tibakna
Curiganira nuli
(Langendriyan)
Mijil
Jalak uren mawurahan sami
Samadya andon woh
Amuwuhi malad wiyadine
Ana manuk mamatuk sasari
Angsoka sulastri
Ruru karya gandrung
Samadya andon woh
Amuwuhi malad wiyadine
Ana manuk mamatuk sasari
Angsoka sulastri
Ruru karya gandrung
(Haji Pamasa, Ranggawarsita)
Megatruh
Sigra milir kang gèthèk sinangga
bajul
Kawan dasa kang njagèni
Ing ngarsa miwah ing pungkur
Tanapi ing kanan kéring
Kang gèthèk lampahnya alon
Kawan dasa kang njagèni
Ing ngarsa miwah ing pungkur
Tanapi ing kanan kéring
Kang gèthèk lampahnya alon
(Babad Tanah Jawi, Yasadipura)
Pucung
Pucung adalah salah satu dari 12
puisi jawa (tembang macapat) yang sangat sederhana. Pucung biasa disebut juga
dengan pocung. Pucung adalah tetembangan yang digunakan untuk mengingat
pada kematian, karena dekat dengan kata pocong yaitu pembungkusan mayat saat akan dikubur. Selain itu,
pucung juga berarti woh-wohan (buah-buahan) yang memberikan kesegaran. Kata
“cung” sendiri mengingatkan pada kuncung yang lucu. Oleh sebab itu perkembangan
dari tembang ini merujuk kepada hal-hal lucu atau parikan atau bedhekan
(tebakan).
Pucung sendiri memiliki watak
kendur, tanpa adanya klimaks dan tujuan dalam cerita. Dalam membuat pucung
tidak boleh asal-asalan karena ada aturannya.
Berikut aturan dari tembang pucung.
1. Guru gatra = 4
Artinya tembang ini memiliki 4 larik kalimat.
Artinya tembang ini memiliki 4 larik kalimat.
2. Juru wilangan = 12, 6, 8, 12
Maksudnya tiap kalimat harus bersuku kata seperti diatas. Kalimat pertama 12 suku kata. Kalimat kedua 6 suku kata. Kalimat ketiga 8 suku kata. Kalimat keempat 12 suku kata.
Maksudnya tiap kalimat harus bersuku kata seperti diatas. Kalimat pertama 12 suku kata. Kalimat kedua 6 suku kata. Kalimat ketiga 8 suku kata. Kalimat keempat 12 suku kata.
3. Guru lagu = u, a, i, a
Akhir suku kata dari setiap kalimat harus bervokal u, a, i, a
Akhir suku kata dari setiap kalimat harus bervokal u, a, i, a
Berikut ini adalah contoh tembang
pucung.
Ngelmu iku kelakone kanthi laku
--> u
Lekase lawan kas --> a
Tegese kas nyantosani --> i
Setya budya pengekesing dur angkara --> a
Lekase lawan kas --> a
Tegese kas nyantosani --> i
Setya budya pengekesing dur angkara --> a
Jurudemung
Ni ajeng mring gandhok wétan
Wus panggih lan Rara Mendut
Alon wijilé kang wuwus
Hèh Mendut pamintanira
Adhedhasar adol bungkus
Wus katur sarta kalilan
Déning jeng kyai Tumenggung
Wus panggih lan Rara Mendut
Alon wijilé kang wuwus
Hèh Mendut pamintanira
Adhedhasar adol bungkus
Wus katur sarta kalilan
Déning jeng kyai Tumenggung
(Serat Pranacitra)
Cirining serat iberan
Kebo bang sungunya tanggung
Saben kepi mirah ingsun
Katon pupur lalamatan
Kunir pita kasut kayu
Wulucumbu Madukara
Paran margane ketemu
Kebo bang sungunya tanggung
Saben kepi mirah ingsun
Katon pupur lalamatan
Kunir pita kasut kayu
Wulucumbu Madukara
Paran margane ketemu
(Serat Sekar-sekaran, Mangkunegara IV)
Wirangrong
Dèn samya marsudêng budi
Wiwéka dipunwaspaos
Aja-dumèh-dumèh bisa muwus
Yèn tan pantes ugi
Sanadyan mung sakecap
Yèn tan pantes prenahira
Wiwéka dipunwaspaos
Aja-dumèh-dumèh bisa muwus
Yèn tan pantes ugi
Sanadyan mung sakecap
Yèn tan pantes prenahira
(Serat Wulang Rèh, Pakubuwana IV)
Balabak
Byar rahina Kèn Rara wus maring
sendhang
mamèt wé
Turut marga nyambi reramban janganan
antuké
Praptêng wisma wusing nyapu atetebah
jogané
mamèt wé
Turut marga nyambi reramban janganan
antuké
Praptêng wisma wusing nyapu atetebah
jogané
(Serat Jaka Lodhang, Ranggawarsita)
Kabalabak jroning jagad gedhe ana
yektine
Jagad cilik sinorotan surya, kembar
pandhane
Soring surya ana gunung gung saguja
blegere
yektine
Jagad cilik sinorotan surya, kembar
pandhane
Soring surya ana gunung gung saguja
blegere
(Ki Padmosukoco)
Girisa
Metrum ini memiliki watak megah (mrebawani).
Metrum ini diambil dari metrum kakawin dengan nama yang sama.
Dene utamaning nata, 8 a
Berbudi bawa leksana, 8 a
Lire berbudi mangkana, 8 a
Lila legawa ing driya, 8 a
Agung dennya paring dana, 8 a
Anggeganjar saben dina, 8 a
Lire kang bawa leksana, 8 a
Anetepi pangandika. 8 a
Berbudi bawa leksana, 8 a
Lire berbudi mangkana, 8 a
Lila legawa ing driya, 8 a
Agung dennya paring dana, 8 a
Anggeganjar saben dina, 8 a
Lire kang bawa leksana, 8 a
Anetepi pangandika. 8 a
Tidak ada komentar:
Posting Komentar